Pendahuluan
Pada bab ini akan
dibahas mengenai paradigma yang melatarbelakangi berdirinya aliran ekonomi
kelembagaan. Teori ekonomi kelembagaan paralel dengan sifat asasi dari ilmu
sosial, yakni sejak awal harus disadari bahwa ilmu sosial memiliki 2 dimensi
yang harus dipahami secara kritis. Pertama, jika berkaitan dengan (persoalan)
negara, ilmu sosial tidak hanya memiliki daya penjelas atau kapasitas
interpretatif, tetapi juga berpotensi melegitimasi dan mendelegitimasi. Kedua,
bila bersinggungan dengan (urusan) masyarakat, maka ilmu sosial tidak berbicara
tentang legitimasi dan delegitimasi, melainkan tentang ilmu-ilmu sosial
instrumental dan ilmu-ilmu sosial kritis.
Perilaku
Teknologis dan Ideologis
Analisis ilmu ekonomi
bisa dibagi dalam empat cakupan, yaitu alokasi sumberdaya, tingkat pertumbuhan
kesempatan kerja, pendapatan produksi dan harga, distribusi pendapatan, dan
struktur kekuasaan. Menurut Veblen, kelembagaan adalah kumpulan norma dan kondisi-kondisi
ideal yang direprediksi secara kurang sempurna melalui kebiasaan pada
masing-masing generasi individu berikutnya. Dengan demikian, kelembagaan
berperan sebagai stimulus dan petunjuk terhadap perilaku individu. Para ahli
kelembagaan berpendapat bahwa rentang alternative manusia ditentukan melalui
struktur kelembagaan atau konteks dimana mereka lahir, yakni ruang untuk
memulai analisis dengan melihat struktur kelembagaan. Ahli kelembagaan berusaha
membuat model-model pola yang menjelaskan perilaku manusia dengan
menempatkannya secara cermat dalam konteks kelembagaan dan budaya. Ide inti
dari paham kelembagaan adalah mengenai kelembagaan, kebiasaan, aturan dan
perkembangannya. Pendekatan ahli kelembagaan bergerak dari ide-ide umum
mengenai perilaku manusia, kelembagaan dan perkembangan sifat dari proses
ekonomi menuju ide-ide dan teori-teori khusus yang berkaitan dengan kelembagaan
ekonomi yang spesifik.
Setiap analisis
kelembagaan diminta untuk hati-hati dalam merumuskan ‘perilaku’. Perilaku yang
mendasar pada akar tindakan manusia dalam struktur kelembagaan (norma,
pekerjaan, peraturan-peraturan, pemanfaatan, dan keinginan) ketimbang keinginan
individual yang banyak dianggap tidak asli atau tidak bisa dipercaya karena
sifat subjektif dan introspektifnya. Behaviorisme memahami keinginan individu ,
bila harus digunakan dalam analisis, sebagai suatu keinginan yang muncul dari
kelembagaan budaya dimana individu tersebut lahir. Jadi individu tidak berdiri
sendiri, tetapi beralas dari struktur sosial. Commons mendeskripsikan
kepemilikan pribadi bukan sebagai kondisi ‘alamiah’ (‘natural condition’) tetapi lebih sebagai perkembangan diluar
kondisi-kondisi historis dan menjadi subjek dari kontrol manusia. Pemapanan
hak-hak kepemilikan akan memberikan hak penggunaan dan kekuasaan didalam proses
pertukaran, yang semakin meningkat dengan kian kencangnya proses
industrialiasasi dan transaksi-transaksi diantara kelompok-kelompok yang
berkompetisi. Dengan demikian oleh ahli kelembagaan, pasar tidak dilihat
sebagai mekanisme yang netral untuk melakukan alokasi yang efisien dan kesederajatan
distribusi. Namun, para ahli kelembagaan meliahat pasar sebagai mekanisme yang
bias dari banyak hal. Dalam hal ini, pasar dianggap sebagai refleksi dari
eksistensi kekuasaan; sehingga pasar tidak hanya mengontrol, tetapi juga
dikontrol.
Realitas
dan Evolusi
Filsafat kontemporer
tentang ilmu pengetahuan telah digunakan untuk memahami metodologi ahli
kelembagaan dan bagaimana kelembagaan ini berbeda dari ekonomi konvensional.
Tentu saja, dalam perspektif ini,tugas utama ekonom modern adalah untuk memahami,
menginterprestasikan, dan menjelaskan kenyataan yang ada di sekitarnya, Tetapi,
tujuan utama ini seringkali memunculkan pertayaan, bagaimana proses penjelasan
tersebut telah menjadi sumber kontroversi yang besar. Pada intinya adalah isu
bahwa ilmu pengetahuan modern dibedakan hanya pada sisi persoalan subjek (subject
matter), bukan dalam metode. Mazhab formal (formalism), yang meliputi
positivisme logis dan rasionalisme, termasuk dalam kubu yang mempunyai
pandangan seperti itu,sehingga sebagian besar ekonomi konvensional masuk
kedalam kategori ini. Sebaliknya, aliran Holistik (Holisme), termasuk
model-model pola dan cerita, mengungkapkan keyakinan bahwa perubahan subjek
juga sekaligus memerlukan perubahan metode. Ekonomi kelembagaan, ekonomi
politik radikal,dan marxisme masuk ke dalam kategori ini (Wilber dan
Harrison,1988:96).
Samuelson menyatakan “
pendekatan holistik merupakan hal yang tidak mudah diterapkan dalam konsep
ekonomi karena; 1) spesifikasi; 2) dipisahkan dari masyarakat lain; dan 3)
dibuat untuk tujuan analitis yang bisa dikelola, dimana hal ini tentu berbeda
dengan tujuan yang dibuat untuk tujuan pengujian”. Akibatnya, ahli kelembagaan
yang menggunakan teori-teori holistik harus menyediakan ruang bahwa teori-teori
ini selalu bersifat sementara dan menjadi subjek untuk perubahan.
Sekilas, pendekatan
umum yang dijelaskan diatas tampak cukup jelas, tidak perlu menambah yang baru.
Namun, demi pemahaman yang lebih rinci, beberapa poin dapat dibuat untuk
menanggapi penegasan ini (Hudgson, 1998:173). Pertama, terdapat derajat
pemberian penekanan pada faktor-faktor kelembagaan dan budaya yang tidak
ditemukan dalam teori ekonomi. Kedua, analisis kelembagaan bersifat
interdisipliner, khususnya dalam mengenali tinjauan politik, sosiologi, psikologi,
dan ilmu-ilmu yang lain. Ketiga, tidak ada sumber-sumber untuk penyususunan
model agen/pelaku rasional yang memaksimalkan kemanfaatan. Keempat, teknik
matematis dan statistik dianggap sebagai pelayanan teori ekonomi ketimbang
esensi dari teori ekonomi sendiri. Kelima, analisis tersebut tidak dimulai
dengan membangun model-model matematis, namun diawali dengan gaya fakta dan
dugaan teoritis mengenai mekanisme sebab-akibat. Keenam, pemanfaatan harus
dibuat dari bahan empiris historis dan komparatif mengenai kelembagaan
sosioekonomi. Pernyataan-pernyataan tersebut merupakan basis metodologis yang
menjadi kerangka analisis pendekatan ilmu kelembagaan. Dengan dasar metodologis
tersebut, perspektif ekonomi kelembagaan menyakini bahwa struktur dan prilaku
masyarakat harus mendapatkan ruang yang lebar dalam setiap anlisis ekonomi.
Metode
Kualitatif: Partikularitas dan Subyektivitas
Memahami individu atau
masyarakat tidak hanya soal ”subyek” tetapi juga ”metode”. Metode itulah yang
akan membawa kepada ”kebenaran” dan kebenaran inilah yang hendak diuji dalam
dua pendekatan penelitian ilmu sosial, yaitu metode penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Metode penelitian kuantitatif ini terdiri dari tiga permis : general, obyektif,
dan prediktif (terukur). Pendekatan ini percaya bahwa fenomena sosial berlaku
secara universal dan setiap tindakan-tindakan individu merupakan turunan
(derivasi) dari perilaku kumpulan individu. Sebaliknya, penelitian kualitatif
dimengerti dengan tiga premis yang berlawanan dengan kuantitatif, yaitu :
partikular, subyektif, dan nonprediktif. Premis-premis inilah yang menjadi
dasar dari konstruksi penelitian kualitatif, yang sekaligus menjadi metode
analisis ekonomi kelembagaan.
Apakah yang disebut
dengan obyektifitas? Obyektifitas dapat di pandang sebagai hasil belajar
manusia, yang mempresentasikan tujuan ilmu pengetahuan dan bukti yang mungkin
ada (Wallerstein, 1997:142). Dengan dasar itu, ilmu ekonomi beranggapan dapat
menyajikan suatu penilaian yang obyektif, yang kemudian disebut sebagai fakta.
Penelitian kuantitatif dianggap lebih obyektif karena keberhasilannya untuk dapat mengukur (measureable) dan membandingkan (comparable) atas data-data yang dimiliki.
Penelitian kuantitatif dianggap lebih obyektif karena keberhasilannya untuk dapat mengukur (measureable) dan membandingkan (comparable) atas data-data yang dimiliki.
Nonprediktif:
Nilai Guna dan Liabilitas Data
Membedakan Penelitian
kuantitatif dan kualitatif berdasarkan sifat prediktif dan non prediktif bahwa
penelitian kuantitatif biasanya berujung pada peramalan tentang kemungkinan
peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi akibat adanya pemantik yang diberikan.
Misalnya peneliti bisa memperkirakan berapa jumlah orang miskin yang berkurang
apabila subsidi pendidikan dan kesehatan diberikan kepada masyarakat.
Sebaliknya, penelitian kualitatif tidak tertarik untuk menyodorkan daya ramal
tersebut, tetapi justru berkonsentrasi untuk menyajikan karakter sebuah masalah
atau fenomena. Sebagai contoh, peneliti lebih tertarik untuk meminta pemdapat
kaum miskin tentang relevansi subsidi untuk peningkatan kesejahteraan merek.
Dengan model ini peneliti lebih tergerak untuk memberikan informasi dari pada
prediksi.
Penelitian kualitatif
lebih banyak merujuk kepada pemaknaan konsep, definisi, karakteristik,
metafora, simbol dan deskripsi atas sesuatu. Sebaliknya, penelitian kantitatif
berkonsentrasi untuk mnghitung dan mengukur sesuatu (Berg, 2004:2-3 dalam Erani, 2013:55). Penelitian
kualitatif dan kuantitatif berlainan dimana yang pertama memberikan penjelasan
dan yang kedua menyodorkan ramalan. Hubungan antara pendekatan ekonomi
kelembagaan dengan pendekatan kualitatif lebih mudah dipetakan, pendekatan
ekonomi kelembagaan memberikan jalan keluar bagaimana cara memahami sebuah
proses sosial yang kompleks sedangkan penelitian kualitatif menyediakan metode
untuk mengorek secara mendalam sebab akibat dari proses sosial tersebut. Meskipun
begitu penelitian kuantitatif tidak haram digunakan dalam analisis ekonomi
kelembagaan. Sampai batas tertentu ukuran-ukuran yang mungkin dikuantifikasi
tetap bermanfaat sebagai analisis ekonomi kelembagaan. Misalnya, ukuran
efisiensi dalam ekonomi kelembagaan bisa dilacak dari biaya transaksi yang
muncul. Semakin besar biaya transaksi yang muncul dari pertukaran berarti
menunjukkan kelembagaannya tidak efisian, untuk tiba pada kesimpulan efisien
atau inefisien itulah seringkali dibutuhkan pengukuran (angka).
Daftar Referansi
Daftar Referansi
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori, dan
Kebijakan. Jakarta : Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar