Walaupun
sama-sama berasal dalam cabang ilmu sosial, pendekatan elmi ekonomi dan ilmu
sosiologi selama ini dianggap saling menegaskan. Analisis ekonomi yang
cenderung kuantitatif dianggap para sosiolog sangat mendangkalkan kompleksitas
relasi sosial yang ada di masyarakat, sehingga kebijakan-kebijakan ekonomi yang
diproduksi selalu gagal beroperasi. Namun sejak dekade 1980-an kesenjangan
antara ilmu sosiologi dan ilmu ekonomi tersebut secara perlahan mulai dapat
dikurangi, dimana salah satu jembatannya dipicu oleh kemunculan teori/konsep
modal sosial. Secara eksplisit, teori modal sosial ini dianggap sebagai perekat
paling potensial untuk menyatukan (setidaknya mendekatkan) antara disiplin ilmu
ekonomi dan sosiologi.
Akar
dan Definisi Modal Sosial
Muasal
teori modal sosial pertama kali sesungguhnya dipicu oleh tulisan Pierre
Bourdieu yang dipublikasikan pada akhir 1970-an (Fine dan Lapavitsas, 2004:19).
Judul tulisannya adalah ‘Le Capital
Social : Notes Provisoires’, yang diterbitkan dalam ‘Actes de la Recherche en Sciences Sociales’ (1980). Namun karena
publikasi tersebut dilakukan dalam bahasa Perancis, membuat tidak banyak
ilmuwan sosial (khususnya sosiologi dan ekonomi) yang menaruh perhatian
(Portes, 1998:23). Setelah James S. Coleman mempublikasikan topik yang sama
pada 1993, barulah para intelektual mengunduh tema tersebut sebagai salah satu ‘santapan’
penting yang mempertemukan antardisiplin ilmu. Akhirnya hingga saat ini banyak
pihak yang berkeyakinan bahwa Coleman merupakan ilmuwan pertama yang
memperkenalkan konsep modal sosial, seperti yang ia tulis dalam jurnal American Journal of Sociology yang
berjudul ‘Social Capital in the Creation
of Human Capital’ (1998). Jadi dalam batas-batas tertentu, persolan bahasa
bisa menimbulkan misinformasi dan kesalahpahaman yang mengganggu bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Menurut
Bourdieu, modal sosial adalah agregat sumber daya aktual maupun
potensional yang diikat untuk mewujudkan
jaringan yang awet sehingga menginstitusionalisasikan hubungan persahabatan
yang saling menguntungkan. Selanjutnya, definisi tersebut mengandaikan bahwa
modal sosial memisahkan dua elemen, yaitu pertama, hubungan sosial itu sendiri
yang mengizinkan individu untuk mengklaim akses terhadap sumber daya yang
dipunyai oleh asosiasi mereka dan yang kedua, jumlah dan kualitas dari sumber
daya tersebut. Sedangkan menurut Coleman (1988:102-105) terdapat tiga bentuk
modal sosial, yaitu pertama struktur kewajiban, ekspektasi, dan kepercayaan. Kedua,
jaringan informasi. Ketiga, norma dan sanksi yang efektif.
Modal
Sosial : Empat Perspektif
Terdapat empat argumentasi
yang dapat memberikan penjelasana yang cukup representatif (Lin,2001:1920). Pertama, dalam pasar yang tidak sempurna
ikatan social dalam posisi okasi/hierarki yang strategis dapat menyediakan
individu dengan informasi yang berguna tentang kesempatan dan pilihan-pilihan.
Sebaliknya, individu yang tidak memiliki posisi yang strategis, dipastikan
tidak memiliki keuntungan tersebut. Dengan adanya informasi di tangan itu
artinya individu tersebut bias mengurangi biaya transaksi untuk melakukan
kegiatan ekonomi. Kedua, ikatan
social bias mengpengaruhi perilaku, misalnya supervisor organisasi, yang
memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan (seperti proses peenggajian
ataupun promosi). Ketiga, ikatan sosial
mungkin diberikan oleh organisasi atau pelakunya sebagai sertifikasi
kepercayaan sosial individu, yakni sesuatua yang merefleksikan aksesibilitas
individu terhadap sumber daya lewat jaringan dan relasi yang dipunyai. Keempat, hubungan sosial
diekspektasikan dapat memperkuat kembali identitas dan pengakuan (recognition). Penguatan kembali (reinforcement) tersebut sangat esensial
bagi pemeliharaan kesehatan mental dan pembagian sumber daya. Jadi, keempat
elemen tersebut, informasi; pengaruh; kepercayaan sosial; dan penguatan
kembali, mungkin bias menjelaskan mengapa modal sosial bekerja dalam tindakan-tindakan instrumental dan
ekspresif yang tidak dapat dihitung dalam bentuk modal personal, seperti modal
ekonomi atau manusia.
Seperti yang dikatakan oleh
Coleman, terdapat tiga penampakan yang memiliki aspek struktur dan kognisi maka
didapatkan sebuah operasionalisasi modal sosial sebagai berikut. Pertama, menurut sumber dan
pengejawantahannya, secara struktur modal social terdiri dari peran dan aturan,
jaringan dan hubungan interpersonal dengan pihak lain, serta prosedur dan
kejadian. Sedangkan aspek kognisinya terdiri dari norma-norma, nilai-nilai,
perilaku, dan keyakinan. Kedua,
menurut cakupannya (doamins), strutur
modal sosial terbentuk dari organisasi sosial dan aspek kognisinya mewujud
dalam budaa sipil (civic culture).
Budaya bias dimaknai sebagai kemampuan warga Negara/ masyarakat untuk
mengekspresikan dan mengorganisasikan kepentingannya melalui saluran-saluran
yang tersedia. Ketiga, menurut
elemen-elemen umum (common elements)
struktur modal sosial terbangun berdasarkan ekspektasi yang mengarah kepada
perilaku kerja sama yang saling menguntungkan. Sedangkan aspek kognisi dari
elemen umum ini tidak bias diidentifikasikan secara jelas karena sangat
tergantung dari kesepakatan anggota-anggota yang terlibat dalam hubungan kerja
sama tersebut (secara detail bias dilihat pada Tabel 8.1).
Modal Sosial : Implikasi Negatif
Dalam identifikasi yang
mendalam, setidaknya kontroversi menyangkut konsep modal social ini bias dibagi
dalam empat isu (Lin, 2001:26-28). Pertama,
kontroversi yang menghadapkan apakah modal social itu asset kolektif atau
individu. Pada level kelompok, modal sosial mempresentasikan beberapa agregrasi
sumber daya yang bernilai (ekonomi, politik, budaya, atau sosial dalam koneksi
sosial) bagi interaksi anggota dalam sebuah jaringan. Kesulitan
muncul apabla modal sosial didiskusikan sebagai barang kolektif atau publik karena
membaur dengan norma, kepercayaan, dan barang publik lainnya. Kedua, kontroversi yang melihat modal
sosial sebagai klosur atau jaringan terbuka dalam sebuah jaringan terbuka dalam
sebuah jaringan atau relasi sosial. Bourdie, melihat modal sosial sebagai investasi
dari anggota-anggota modal sosial yang berasal sebagai investasi dari
anggota-anggota modal sosial yang berasal dari kelas dominan (sebagai kelompok
atau jaringan) yang bertujuan menjaga dan meproduksi solidaritas kelompok dan
melestarikan posisi kelompok dominan tersebut.
Ketiga,
kontroversi yang dipicu oleh pandangan Coleman, yang menyatakan bahwa modal
social merupakan ‘sumber daya struktur social’ yang menghasilkan keuntungan (return) bagi individu dalam sebuh
tindakan yang spesifik. Coleman memberikan tekanan bahwa ‘modal sosial bukanlah
entitas tunggal’ melainkan bermacam-macam entitas yang berbeda dan memiliki dua
karakteristik penting: modal sosial berisi aspek dari struktur social dan modal
sosial dapat ditangkap hanya melalui efeknya; atau modal sosial merupakan
investasi yang tergantung pada pengembalian terhadap individu tertentu dalam
sebuah spesifik. Keempat, kontroversi
ini mengenai pengukuran (measurement).
Coleman mempertanyakan, apakah modal sosial bias disepadankan dengan modal
ekonomi, fisik, dan manusia sehingga bias dikuantifikasi dalam bidang ilmu
sosial? Sampai saat ini modal sosial lebih banyak didekati dengan analisis
kualitatif dan untuk analisis kuantitatifnya biasanya dilakukan dengan
mengambil indikator-indikator kualitatif. Kecenderungannya, bagi kebanyakan
ahli, mereka menghendaki modal social bias diukur melalui pendekatan
kuantitatif (secara lebih detail, empat kontroversi modal sosial bias dilihat
di Tabel 8.2).
Modal Sosial dan Pembangunan
Ekonomi
Kelahiran
modal sosial dipicu dari ranah bidang ilmu sosiologi, begitu sampai dalam
kupasan bidang ekonomi dianggap sebagai bagian dari bentuk modal yang
diharapkan memiliki donasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika dibagi dalam
level studi, riset-riset yang mencoba menghubungkan antara modal social dan
pembangunan ekonomi biasanya mengambil dua karekteristik berikut: (i)
penelitian hulu yang mencoba mencari
landasan teoritis yang merelasikan modal social dengan pembangunan ekonomi; dan
(ii) penelitian hilir yang berusaha melacak implikasi modal sosial terhadap
pembangunan ekonomi. Kedua level studi tersebut masing-masing sudah
menyumbangkan khasanak pemikiran yang matang, sehingga saat ini telah tersedia
beberapa argumentasi teoritis maupun empiris untuk menjelaskan hubungan antara
modal social dan pembangunan ekonomi.
Hubungan antara modal sosial dan pembangunan ekonomi
tersebut juga bias dilacak dari sisi lain. Kegiatan ekonomi selalu berupa kerja
sama antarpelakunya, apapun motif yang ada dibaliknya (profit, harga diri,
status, preferensi, dll). Sedangkan kerja sama itu membutuhkan kepercayaan ,
yang dalam ekonomi modern dapat digantikan dengan mekanisme formal untuk
mencegah kecurangan/penipuan, seperti sistem kontrak. Tapi, formalitas itu
sendiri tidak akan pernah menggantikan kepercayaan karena sistem kontrak
hanyalah instrument pendukung (bukan utama). Sampai disini, pandang paling
agungdari modal sosial menyatakan bahwa kerja sama tergantung dari kepercayaan.
Masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi akan sanggup melakukan
kerja sama yang dapat digalang hanya sampai pada level terbatas, misalnya
perusahaan yang berbasis keluarga (family
firm-based). Jadi, dalam hal ini harus dipahami modal sosial sebagai sumber
daya bermakna bahwa komunitas bukanlah sebuah produk atau hasil pertumbuhan
ekonomi, tetapi merupakan ‘prakondisi’ bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi,
(Putnam, 1995; dalam Champlin, 1999:1304).
Daftar Pustaka :
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi
Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta : Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar