Hak
kepemilikan saat menjadi suatu hal yang kurang dihiraukan oleh kalangan
pemerintah. Hak kepemilikan yang masih diperhatikan adalah hak kepemilikan
pribadi (private property rights) dan
hak kepemilikan negara (state property
rights). Tetapi bagi pemerintah atau pengambil kebijakan lain masalahnya
bukan hanya sekedar jenis hak kepemilikan, namun bagaimana hak kepemilikan itu
dibentuk, diberi peraturan, dan ditegakkan sehingga membantu proses pembangunan
ekonomi.
Definisi
dan Tipe Hak Kepemilikan
Untuk
memahami konsep dasar dari hak kepemilikan, langkah terbaik adalah dengan
mula-mula mengasumsikan bahwa seluruh kegiatan ekonomi mengambil mengambil dari
negara liberal klasik. Asumsi itu menyebutkan bahwa hak kepemilikan ditetapkan
kepada individu menurut prinsip kepemilikan pribadi dan bahwa sanksi atas hak
kepemilikan dapat dipindahkan melalu izin menurut prinsip kebebasan kontrak.
Melalui konsep dasar tersebut, hak kepemilikan atas suatu aset dapat dimengerti
sebagai hak untuk menggunakan, untuk mengubah bentuk dan isi hak kepemilikan,
dan untuk memindahkan seluruh hak-hak atas aset, atau beberapa hak yang
diinginkan. Dengan penjelasan tersebut, hak kepemilikan hampir selalu berupa
hak eksklusif, tetapi kepemilikan bukan berarti hak yang tanpa batas (Furubotn
dan Richter, 2000:71-72). Sedangkan menurut Bromley dan Cernea (1989:5)
mendefinisikan hak kepemilikan sebagai hak untuk mendapatkan aliran laba yang
hanya aman bila pihak-pihak yang lain bertanggujawab dan menghormati dengan
kondisi yang melindungi aliran laba tersebut. Makna ini menjelaskan bahwa hak
kepemilikan berbisara mengenai penguasaan individu atas aset (dalam pengertian
luas bisa berupa ilmu pengetahuan dan keterampilan) sehingga didalamnya
terdapat hak menggunakan atau memindahkan atas aset yang dimiliki/dikuasai.
Disamping itu tidak seorangpun dapat menyatakan hak milik suatu sumber daya
tanpa pengesahan dimana ia berada sebab hak kepemilikan juga merupakan sumber
kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumber daya sehingga hak tersebut
bisa diperoleh melalui pembeliaan, pemberian, atau hadiah atau melalui
pengaturan administrasi pemerintah seperti subsidi (Zakaria,2009).
Dalam
aliran neoklasik, Tietenberg (1992; dalam Prasad,2003:748) menerima premis yang
dikembangkan oleh aliran neoklasik dan menyarankan bahwa struktur yang efisien
dari hak kepemilikan dapat memproduksi alokasi sumber daya yang eifien pula.
Kemudian dia mengidentifikasi empat karakteristik dari hak kepemilikan yang
penting :
1. Universalitas
(universality): seluruh sumber daya dimiliki secara privat dan seluruh jatah
dispesifikasi secara lengkap.
2. Eksklusivitas
(exclusivity): seluruh keuntungan dan biaya diperluas sebagai hasil dari
kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya seharusnya jatuh ke pemilik, dan hanya
kepada pemilik, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui penjualan
atau yang lain.
3. Transferabilitas
(transferability): seluruh hak kepemilikan seharusnya dapat dipindahkan
(ditransfer) dari satu pemilik kepada pihak lain lewat pertukaran sukarela.
4. Enforsibilitas
(enforceability): hak kepemilikan seharusnya dijamin dari praktik/pembeslahan
keterpaksaan atau pelanggaran dari pihak lain.
Hak
Kepemilikan dan Rezim Sistem Ekonomi
Untuk
memahami mengenai rezim sistem ekonomi, dapat dijelaskan terlebih dahulu dengan
dengan tiga teori besar yaitu sebagai berikut :
1. Rezim
Sistem Ekonomi Kapitalis
Dalam
sistem ini seluruh kepemiikan dimiliki oleh sektor privat (swasta). Sistem ini
percaya hak kepemilikan privat yang dimediasi oleh mekanisme pasar akan
menghasilkan pancapaian ekonomi yang efisien. Hal ini terjadi karena setiap
pemilik hak kepemilikan dijamin kepastian untuk memperoleh insentif ekonomi
atas setiap aktivitas yang dilakukan, misalnya untuk menjual, mengelola,
menyewakan,dll. Namun, pencapaian efisiensi pemerataan akan terhambat karena
kepemilikan atas asset tidak merata, adanya eksternalitas, informasi yang tidak
merata, dll sehingga aset hanya akan menumpuk pada segelintir orang. Setiap
individu memiliki insentif untuk mengambil manfaat atas sumberdaya langka yang
ada pada domain publik sehingga akan menyebabkan sumberdaya tersebut over
used.
2. Rezim
Sistem Ekonomi Sosialis
Suatu
sistem ekonomi yang dipegang oleh pemerintah. Jadi dalam hal ini pemerintah
yang mengelola segala potensi sumber daya yang ada disuatu negara. Dengan
adanya sistem ini diharapkan pembangunan dapat berjalan secara lancar, karena
pemerintah berlaku sebagai penyedia fasilitas, penyedia faktor produksi,
misalnya tanah. Penganut sistem ini yakin bahwa dengan menyerahkan hak
kepemilikan pada negara efisiensi distribusi akan mudah dicapai. Namun
faktanya, efisiensi itu sulit dicapai karena :
·
ekonomi dikendalikan oleh birokrat yang
umumnya tidak reponsif terhadap kebutuhan masyarakat,
·
penempatan kaum usahawan pada perusahaan
publik kurang termotivasi (kurang insentif) untuk mencari keuntungan;
·
kontrol negara atas faktor produksi
menyebabkan kekuasaan politik berada ditangan orang yang ditunjuk negara;
·
ketiadaan pasar menempatkan perencanaan
ekonomi secara terpusat dimana supply, demand, preferensi konsumen ditentukan
oleh negara.
3. Rezim
Sistem Ekonomi Campuran
Suatu
sistem ekonomi gabungan antara privat atau swasta dengan publik atau
pemerintah. Sistem ekonomi ini dianggap lebih baik dari kedua sistem
sebelumnya, karena apabila kedua sektor yaitu swasta dan pemerintah melakukan
suatu kerja sama yang baik maka akan menghasil suatu pembangunan yang terkhusus
pada bidang ekonomi dapat berjalan lancar dan merata. Jadi dalam sistem ini
tidak ada yang hanya mementingkan kepentingan pribadi, tetapi memikirkan
kepentingan bersama. Kepemilikan pribadi dijamin keberadaannya tetapi negara
juga berhak memiliki dan mengelola sumberdaya strategis yang menyangkut
kepentingan umum, seperti sumber daya air, lahan, laut, hutan, dan lain-lain. Sistem ini
muncul karena baik kapitalis maupun sosialis memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Selain itu, sistem campuran ini dikenal dengan welfare economic system/social market economy dimana peran
kelembagaan sangat dominan dalam mendistribusikan kesejahteraan pada
masyarakat. Dalam welfare state, hak
kepemilikan diserahkan kepada swasta sepanjang hal tersebut memberikan insentif
ekonomi bagi pelakunya dan tidak merugikan secara sosial, namun kepemilikan
dapat pula diserahkan kepada negara manakala pasar tidak responsif atau
mengalami kegagalan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial. Penyerahan kepemilikan
pada swasta pada saat pasar tidak reponsif atas sumberdaya tersebut hanya akan
menimbulkan kesejangangan kesejahteraan. Disinilah peran negara diperlukan
untuk mengintroduksi kelembagaan sebagai pengganti pasar yang mengalami kegagalan.
Hak Kepemilikan dan Ekonomi Kelembagaan
Kelembagaan dianggap sebagai pengatur hubungan kepemilikan
yang secara khusus mengatur : individu atau kelompok pemilik, objek nilai bagi
pemilik dan orang lain, orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu
kepemilikan. Menurut Alchian dalam Deliarnov, 2006, terdapat 3 elemen utama hak
kepemilikan yaitu : hak ekslusif untuk memilih penggunaan dari suatu sumber
daya, hak untuk menerima jasa-jasa untuk manfaat dari sumberdaya yang dimiliki,
hak untuk menukarkan sumber day yang dimiliki sesuai persyaratan yang
disepakati. Berdasarkan hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang memilii haak kepemilikan terhadap
suatu sumber daya berhak untuk mengontrol pengunaan sumber daya sesuai batsan
yang diperbolehkan.
Jika membahas mengenai hak
kepemilikan dan ekonomi kelembagaan kita akan dihadapkan pada permasalahan
ekonomi salah satunya yaitu eksternalitas. Dalam aliran neoklasik terdapat dua
asumsi yaitu bahwa eksternalitas diabaikan sehingga tidak memiliki formula
pasti untuk penyelesaiannya, disisi lain terdapat asumsi bahwa eksternalitas
sangat berkaitan terhadap kegiatan perekonomian sehingga harus diselesikan
secara sistematis terlebih pasar tidak dapat mengatasi adanya eksternalitas
seperti halnya tidak dapat menyelesaikan permasalahan hak kepemilikan. Dalam
kondisi tersebut diperlukan aturan main diluar pasar dengan adanya intervensi
pemerintah, sehingga dapat memperkuat mekanisme pasar.Salah satu upaya untuk
menginternalisasikan eksternalitas adalah dengan pengelolaan hak kepemilikan
dengan baik, sebab dengan begitu akan mengurangi biaya-biaya transaksi antara
dua pelaku privat dalam proses tawar-menawar dan negosiasi.
Hak Kepemilikan dan Efisiensi Ekonomi
Seperti diketahui bahwa tujuan
terpenting dari kegiatan ekonomi adalah mencapai efisiensi yang merupakan upaya
memperoleh output yang lebih besar dengan input yang sama, dari pendekatan
ekonomi kelembagan efisiensi bisa dicapai melalui dua cara yaitu : pendekatan
statis dimana efisiensi ekonomi dicapai melalui spesialisasi tenaga kerja untuk
mempermudah menguasai pekerjaan tersebut sehingga produktifitas menjadi lebih
tinggi, sedangkan dalam pendekatan dinamis efisiensi ekonomi diperoleh melalui
peningkatan kapasitas dan inovasi teknologi sehingga produktifitas meningkat.
Dinegara maju pendekatan dinamis lebiih banyak diadopsi sedangkan dinegara
berkembang pendekatan statis lebih banyak dipakai untuk meningkatkan efisiesi.
Jika efisiensi dikaitkan dengan hak kepemlikan maka harus
mengunakan beberapa presepektif, pertama melihat hubungan hak kepemilikan
dengan kepastian hukum untuk melindungi penemuan baru dimana negara bisa
menjamin hak kepemilikan terhadap inovasi teknologi (hak paten) yang akan
berimplikasi pada produktivitas dan efisiensi ekonomi, sebab hak paten
memberikan insentif material untuk menemukan inovasi baru yang secara langsung
akan mempengaruhi pola poduksi dan meningkatkan produktivitas. Kedua melihat
hubungan antara hak kepemilikan dengan degradasi lingkungaan yang disebabkan
ketergantunganyang besar antara
aktifitas ekonomi terhadap SDA sehingga cenderung melakukan eksploitasi
besar yang berpotensi merusak lingkungan, dalam jangka panjang akan menurunkan pertumbuhan
(efisiensi) ekonomi.
Daftar Referansi
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori, dan
Kebijakan. Jakarta : Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar