Sabtu, 05 November 2016

Tugas 8 Teori Hak Kepemilikan



Hak kepemilikan saat menjadi suatu hal yang kurang dihiraukan oleh kalangan pemerintah. Hak kepemilikan yang masih diperhatikan adalah hak kepemilikan pribadi (private property rights) dan hak kepemilikan negara (state property rights). Tetapi bagi pemerintah atau pengambil kebijakan lain masalahnya bukan hanya sekedar jenis hak kepemilikan, namun bagaimana hak kepemilikan itu dibentuk, diberi peraturan, dan ditegakkan sehingga membantu proses pembangunan ekonomi.

Definisi dan Tipe Hak Kepemilikan
Untuk memahami konsep dasar dari hak kepemilikan, langkah terbaik adalah dengan mula-mula mengasumsikan bahwa seluruh kegiatan ekonomi mengambil mengambil dari negara liberal klasik. Asumsi itu menyebutkan bahwa hak kepemilikan ditetapkan kepada individu menurut prinsip kepemilikan pribadi dan bahwa sanksi atas hak kepemilikan dapat dipindahkan melalu izin menurut prinsip kebebasan kontrak. Melalui konsep dasar tersebut, hak kepemilikan atas suatu aset dapat dimengerti sebagai hak untuk menggunakan, untuk mengubah bentuk dan isi hak kepemilikan, dan untuk memindahkan seluruh hak-hak atas aset, atau beberapa hak yang diinginkan. Dengan penjelasan tersebut, hak kepemilikan hampir selalu berupa hak eksklusif, tetapi kepemilikan bukan berarti hak yang tanpa batas (Furubotn dan Richter, 2000:71-72). Sedangkan menurut Bromley dan Cernea (1989:5) mendefinisikan hak kepemilikan sebagai hak untuk mendapatkan aliran laba yang hanya aman bila pihak-pihak yang lain bertanggujawab dan menghormati dengan kondisi yang melindungi aliran laba tersebut. Makna ini menjelaskan bahwa hak kepemilikan berbisara mengenai penguasaan individu atas aset (dalam pengertian luas bisa berupa ilmu pengetahuan dan keterampilan) sehingga didalamnya terdapat hak menggunakan atau memindahkan atas aset yang dimiliki/dikuasai. Disamping itu tidak seorangpun dapat menyatakan hak milik suatu sumber daya tanpa pengesahan dimana ia berada sebab hak kepemilikan juga merupakan sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumber daya sehingga hak tersebut bisa diperoleh melalui pembeliaan, pemberian, atau hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah seperti subsidi (Zakaria,2009).
Dalam aliran neoklasik, Tietenberg (1992; dalam Prasad,2003:748) menerima premis yang dikembangkan oleh aliran neoklasik dan menyarankan bahwa struktur yang efisien dari hak kepemilikan dapat memproduksi alokasi sumber daya yang eifien pula. Kemudian dia mengidentifikasi empat karakteristik dari hak kepemilikan yang penting :
1.      Universalitas (universality): seluruh sumber daya dimiliki secara privat dan seluruh jatah dispesifikasi secara lengkap.
2.      Eksklusivitas (exclusivity): seluruh keuntungan dan biaya diperluas sebagai hasil dari kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya seharusnya jatuh ke pemilik, dan hanya kepada pemilik, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui penjualan atau yang lain.
3.      Transferabilitas (transferability): seluruh hak kepemilikan seharusnya dapat dipindahkan (ditransfer) dari satu pemilik kepada pihak lain lewat pertukaran sukarela.
4.      Enforsibilitas (enforceability): hak kepemilikan seharusnya dijamin dari praktik/pembeslahan keterpaksaan atau pelanggaran dari pihak lain.


Hak Kepemilikan dan Rezim Sistem Ekonomi
Untuk memahami mengenai rezim sistem ekonomi, dapat dijelaskan terlebih dahulu dengan dengan tiga teori besar yaitu sebagai berikut :
1.      Rezim Sistem Ekonomi Kapitalis
Dalam sistem ini seluruh kepemiikan dimiliki oleh sektor privat (swasta). Sistem ini percaya hak kepemilikan privat yang dimediasi oleh mekanisme pasar akan menghasilkan pancapaian ekonomi yang efisien. Hal ini terjadi karena setiap pemilik hak kepemilikan dijamin kepastian untuk memperoleh insentif ekonomi atas setiap aktivitas yang dilakukan, misalnya untuk menjual, mengelola, menyewakan,dll. Namun, pencapaian efisiensi pemerataan akan terhambat karena kepemilikan atas asset tidak merata, adanya eksternalitas, informasi yang tidak merata, dll sehingga aset hanya akan menumpuk pada segelintir orang. Setiap individu memiliki insentif untuk mengambil manfaat atas sumberdaya langka yang ada pada domain publik sehingga akan menyebabkan sumberdaya tersebut over used.
2.      Rezim Sistem Ekonomi Sosialis
Suatu sistem ekonomi yang dipegang oleh pemerintah. Jadi dalam hal ini pemerintah yang mengelola segala potensi sumber daya yang ada disuatu negara. Dengan adanya sistem ini diharapkan pembangunan dapat berjalan secara lancar, karena pemerintah berlaku sebagai penyedia fasilitas, penyedia faktor produksi, misalnya tanah. Penganut sistem ini yakin bahwa dengan menyerahkan hak kepemilikan pada negara efisiensi distribusi akan mudah dicapai. Namun faktanya, efisiensi itu sulit dicapai karena :
·         ekonomi dikendalikan oleh birokrat yang umumnya tidak reponsif terhadap kebutuhan masyarakat,
·         penempatan kaum usahawan pada perusahaan publik kurang termotivasi (kurang insentif) untuk mencari keuntungan;
·         kontrol negara atas faktor produksi menyebabkan kekuasaan politik berada ditangan orang yang ditunjuk negara;
·         ketiadaan pasar menempatkan perencanaan ekonomi secara terpusat dimana supply, demand, preferensi konsumen ditentukan oleh negara.
3.      Rezim Sistem Ekonomi Campuran
Suatu sistem ekonomi gabungan antara privat atau swasta dengan publik atau pemerintah. Sistem ekonomi ini dianggap lebih baik dari kedua sistem sebelumnya, karena apabila kedua sektor yaitu swasta dan pemerintah melakukan suatu kerja sama yang baik maka akan menghasil suatu pembangunan yang terkhusus pada bidang ekonomi dapat berjalan lancar dan merata. Jadi dalam sistem ini tidak ada yang hanya mementingkan kepentingan pribadi, tetapi memikirkan kepentingan bersama. Kepemilikan pribadi dijamin keberadaannya tetapi negara juga berhak memiliki dan mengelola sumberdaya strategis yang menyangkut kepentingan umum, seperti sumber daya air, lahan, laut, hutan, dan lain-lain. Sistem ini muncul karena baik kapitalis maupun sosialis memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Selain itu, sistem campuran ini dikenal dengan welfare economic system/social market economy dimana peran kelembagaan sangat dominan dalam mendistribusikan kesejahteraan pada masyarakat. Dalam welfare state, hak kepemilikan diserahkan kepada swasta sepanjang hal tersebut memberikan insentif ekonomi bagi pelakunya dan tidak merugikan secara sosial, namun kepemilikan dapat pula diserahkan kepada negara manakala pasar tidak responsif atau mengalami kegagalan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial. Penyerahan kepemilikan pada swasta pada saat pasar tidak reponsif atas sumberdaya tersebut hanya akan menimbulkan kesejangangan kesejahteraan. Disinilah peran negara diperlukan untuk mengintroduksi kelembagaan sebagai pengganti pasar yang mengalami kegagalan.

Hak Kepemilikan dan Ekonomi Kelembagaan
Kelembagaan dianggap sebagai pengatur hubungan kepemilikan yang secara khusus mengatur : individu atau kelompok pemilik, objek nilai bagi pemilik dan orang lain, orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu kepemilikan. Menurut Alchian dalam Deliarnov, 2006, terdapat 3 elemen utama hak kepemilikan yaitu : hak ekslusif untuk memilih penggunaan dari suatu sumber daya, hak untuk menerima jasa-jasa untuk manfaat dari sumberdaya yang dimiliki, hak untuk menukarkan sumber day yang dimiliki sesuai persyaratan yang disepakati.  Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang memilii haak kepemilikan terhadap suatu sumber daya berhak untuk mengontrol pengunaan sumber daya sesuai batsan yang diperbolehkan.
            Jika membahas mengenai hak kepemilikan dan ekonomi kelembagaan kita akan dihadapkan pada permasalahan ekonomi salah satunya yaitu eksternalitas. Dalam aliran neoklasik terdapat dua asumsi yaitu bahwa eksternalitas diabaikan sehingga tidak memiliki formula pasti untuk penyelesaiannya, disisi lain terdapat asumsi bahwa eksternalitas sangat berkaitan terhadap kegiatan perekonomian sehingga harus diselesikan secara sistematis terlebih pasar tidak dapat mengatasi adanya eksternalitas seperti halnya tidak dapat menyelesaikan permasalahan hak kepemilikan. Dalam kondisi tersebut diperlukan aturan main diluar pasar dengan adanya intervensi pemerintah, sehingga dapat memperkuat mekanisme pasar.Salah satu upaya untuk menginternalisasikan eksternalitas adalah dengan pengelolaan hak kepemilikan dengan baik, sebab dengan begitu akan mengurangi biaya-biaya transaksi antara dua pelaku privat dalam proses tawar-menawar dan negosiasi.

Hak Kepemilikan dan Efisiensi Ekonomi
            Seperti diketahui bahwa tujuan terpenting dari kegiatan ekonomi adalah mencapai efisiensi yang merupakan upaya memperoleh output yang lebih besar dengan input yang sama, dari pendekatan ekonomi kelembagan efisiensi bisa dicapai melalui dua cara yaitu : pendekatan statis dimana efisiensi ekonomi dicapai melalui spesialisasi tenaga kerja untuk mempermudah menguasai pekerjaan tersebut sehingga produktifitas menjadi lebih tinggi, sedangkan dalam pendekatan dinamis efisiensi ekonomi diperoleh melalui peningkatan kapasitas dan inovasi teknologi sehingga produktifitas meningkat. Dinegara maju pendekatan dinamis lebiih banyak diadopsi sedangkan dinegara berkembang pendekatan statis lebih banyak dipakai untuk meningkatkan efisiesi.
Jika efisiensi dikaitkan dengan hak kepemlikan maka harus mengunakan beberapa presepektif, pertama melihat hubungan hak kepemilikan dengan kepastian hukum untuk melindungi penemuan baru dimana negara bisa menjamin hak kepemilikan terhadap inovasi teknologi (hak paten) yang akan berimplikasi pada produktivitas dan efisiensi ekonomi, sebab hak paten memberikan insentif material untuk menemukan inovasi baru yang secara langsung akan mempengaruhi pola poduksi dan meningkatkan produktivitas. Kedua melihat hubungan antara hak kepemilikan dengan degradasi lingkungaan yang disebabkan ketergantunganyang besar antara  aktifitas ekonomi terhadap SDA sehingga cenderung melakukan eksploitasi besar yang berpotensi merusak lingkungan, dalam jangka panjang akan menurunkan pertumbuhan (efisiensi) ekonomi.

Daftar Referansi
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta : Erlangga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar