Sebelum
berkembang seperti saat ini, sesungguhnya ilmu ekonomi dulunya berinduk kepada
ilmu ekonomi politik. Sedangkan ekonomi politik sendiri merupakan bagian dari
ilmu filsafat. Ekonomi politik percaya bahwa struktur kekuasaan akan
mempengaruhi pencapaian ekonomi, sebaliknya pendekatan ekonomi murni menganggap
struktur kekuasaan di masyarakat adalah given.
Bab ini akan menjelaskan tentang makna ekonomi politik itu sendiri, ditambah
dengan beberapa teori ekonomi politik yang populer digunakan akhir-akhir ini.
Sejarah
dan Pemaknaan Ekonomi Politik
Menurut
Clark (1998:21-23), munculnya teori ekonomi dapat dilacak dari periode antara
abad ke-14 dan ke-16, yang bisa disebut masa ‘transformasi besar’ di Eropa
Barat sebagai implikasi dari sistem perdagangan yang secara perlahan
menyisihkan sistem ekonomi feodal di abad pertengahan. Tumbuhnya pasar ekonomi
baru yang besar tersebut telah memumculkan peluang ekspresi bagi
aspirasi-aspirasi individu dan memperkuat jiwa kewirausahaan yang sebelumnya
ditekan oleh lembaga gereja, negara, dan komunitas. Dalam Bahasa Inggris,
penggunaan istilah ekonomi politik terjadi pada 1767 lewat publikasi Sir James
Steuart (1712-1789) berjudul Inequery
into the Principles of Political Economy.
Terlepas
dari sejarah teori ekonomi politik yang rumit, pendekatan ekonomi politik
sendiri secara definitif dimaknai sebagai interrelasi di antara aspek, proses,
dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi(produksi, investasi, penciptaan
harga, konsumsi, dan lain sebagainya) [Caporaso dan Levine, 1992:31]. Mengacu
pada definisi tersebut, pendekatan ekonomi politik mengaitkan seluruh
penyelenggaraan politik, baik yang menyangkut aspek, proses, maupun kelembagaan
dengan kegitan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang diintrodusir
oleh pemerintah. Harus juga dipahami bahwa pendekatan ini meletakkan bidang
politik subordinat terhadap ekonomi. Artinya instrumen-instrumen ekonomi
seperti mekanisme pasar, harga, dan investasi dianalisis dengan mempergunakan
pengaturan sistem politik dimana kebijakan atau peristiwa ekonomi tersebut
terjadi. Dengan kata lain pendekatan ini melihat bahwa ekonomi sebagai cara
untuk melakukan tindakan, sedangkan politik menyediakan ruang bagi tindakan
tersebut
Teori
pilihan publik melihat aktor-aktor individu sebagai pusat kajian, entah mereka
itu sebagai anggota partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, atau
birokrasi; baik yang berkuasa karena dipilih maupun ditunjuk (Caporaso dan
Levine, 1992:134). Teori pilihan publik ini mendeskripsikan bahwa “secara
tipikal ahli ekonomi politik melihat politik dalam wujud demokrasi, yang
memberikan ruang untuk saling melakukan pertukaran di antara masyarakat, partai
politik, pemerintah, dan birokrat. Dalam konteks itu, masyarakat pemilih
diposisikan sebagai pembeli barang-barang kolektif (publik), sementara
pemerintah dan partai politik dipertimbangkan sebagai alternatif penyedia
kebijakan publik (barang dan jasa) sehingga dalam jangka panjang mereka bisa
memungut dukungan dari pemilihan umum (Mitchell, seperti dikutip Rachbini,
2002:86). Singkatan, dalam proses semacaam itu, setiap formulasi kebijakan dan
dukungan dianggap sebagai proses distribusi nisbah ekonomi melalui pasar
politik.
Asumsi-asumsi
yang dipakai dalam teori publik setidaknya bisa dijelaskan dalam 4 poin, yaitu
pertama kecukupan kepentingan material individu memotivasi adanya perilaku
ekonomi, kedua motif kecukupan tersebut lebih mudah dipahami dengan menggunakan
teori ekonomi neoklasik , ketiga kecukupan kepentingan material individu yang
sama memotivasi adanya perilaku politik, dan yang keempat dimana asumsi kecukupan
(kepentingan yang sama) tersebut lebih mudah dipahami dengan menggunakan teori
ekonomi neoklasik (Streeton dan Orchard, 1994:123). Sedangkan dalam
operasionalisasinya, pendekatan pilihan publik bisa dibedakan dalam dua bagian,
yaitu penawaran dan permintaan. Pada sisi penawaran, terdapat dua subyek yang
berperan dalam formulasi kebijakan, yakni pusat kekuasaan yang dipilih dan
pusat kekuasaan yang tidak dipilih. Termasuk dalam yang dipilih adalah badan
legislatif dan eksekutif. Sedangkan yang tidak dipilih adalah cabang-cabang
eksekutif, lembaga independen, dan organisasi internasional yang keberadaannya
tidak dipilih. Sementara di sisi permintaan, aktornya juga bisa dipilih dalam
dua kategori, yaitu pemilih dan kelompok-kelompok penekan. Pemilih akan mengontrol
suara untuk mendapatkan kebijakan yang diinginkan, sedangkan kelompok-kelompok
penekan akan mengelola sumber daya yang dipunyai untuk memperoleh keuntungan
yang diharapkan, baik dari pusat kekuasaan yang dipilih maupun pusat kekuasaan
yang tidak dipilih.
Teori
Rent-seeking
Teori
pilihan publik juga dapat mentransformasikan lebih jauh konsep dasar ilmu
ekonomi klasik ke dalam politik. Dalam kasus ini konsep pendapatan
ditransformasikan menjadi konsep perburuan rente. Konsep ini sangat penting
bagi ilmu ekonomi untuk menjelaskan perilaku pengusaha, politisi, dan kelompok
kepentingan (Rachbini, 2002:118). Teori rent-seeking sendiri diperkenalkan
pertama kali oleh Krueger (1974), yang kemudian dikembangkan oleh Bhagwati
(1982) dan Srinivasan (1991). Pada saat
itu Krueger membahas tentang praktik untuk memperoleh kuota impor, di mana
kuota sendiri bisa dimaknai sebagai perbedaan antara harga batas dan harga
domestik. Dalam pengertian ini, perilaku mencari rente dianggap sebagai
pengeluaran sumber daya untuk mengubah kebijkan ekonomi, atau menelikung
kebijakan tersebut agar dapat menguntungkan bagi para pencari rente (Little,
2002:126). Secara teoritis, kegiatan mencari rente harus dimaknai secara
netral, karena individu (kelompok) bisa memperoleh keuntungan dari aktivitas
ekonomi yang legal (sah), seperti menyewakan tanah, modal (mesin), dan
lain-lain.
Dapat
dijelaskan mengenai perilaku pencari rente (Krueger, 2000:15-16) yaitu sebagai
berikut :
1.
Masyarakat akan mengalokasikan sumber
daya untuk menangkap peluang hak milik yang ditawarkan oleh pemerintah. Pada
titik ini, kemungkinan munculnya perilaku mencari rente sangat besar. Tentu
saja dalam analisis ekonomi tidaklah relevan membicarakan apakah kegiatan
mencari rente tersebut mengambil bentuk secara illegal maupun legal, meskipun kegiatan
korupsi ataupun kegiatan illegal lainnya bisa mengurangi legitimasi pemerintah.
2.
Setiap kelompok atau individu pasti akan
berupaya mempertahankan posisi mereka yang menguntungkan. Implikasinya,
keseimbangan politik mungkin tidak dapat bertahan dalam jangka panjang karena
akan selalu muncul kelompok penekan baru yang mencoba mendaptkan fasilitas
istimewa pula.
3.
Didalam pemerintah sendiri terdapat
kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dengan kata lain, kepentingan pemerintah
tidaklah tunggal. Misalnya, setiap pemerintah cenderung akan memperbesar
pengeluaran untuk melayani kelompok-kelompok kepentingan sementara kemeterian
keuangan sebaliknya justru berkonsentrasi meningkatkan pendapatan. Dalam
konteks ini, ideologi menjadi determinan penting yang akan menuntun bentuk
kepentingan pemerintah.
Teori
Redistributive Combines dan Keadilan
Di
kalangan perumus kebijakan, ada tradisi untuk menggunakan hukum sebagai alat
membagi-bagikan kekayaan yang ada dan bukan mendorong terciptanya kekayaan
baru. Bagi suatu negara yang tidak menyadari bahwa kekayaan dan sumber daya
dapat bertambah besar bila ada dorongan untuk menciptakannya dari suatu sistem
kelembagaan yang tepat dan bahwa anggota masyarakat yang paling papa sekalipun
dapat menghasilkan kekayaan, maka redistribusi langsung merupakan cara
satu-satunya yang terbayangkan oleh pengambil kebijakan. Cara pandang seperti
ini sama sekali tidak mempertimbangkan realitas bahwa suatu peraturan dapat
mengubah keputusan yang diambil oleh orang di bidang ekonomi dan mengubah
peluang ekonomi yang terbuka baginya (de Soto, 1992:249-250). Menurut Stigler
(Rachbini, 1996:131-132), ada dua alternatif pandangan tentang bagaimana sebuah
peraturan diberlakukan. Pertama, peraturan dilembagakan terutama untuk
memberlakukan proteksi dan kemanfaatan tertentu untuk publik atau sebagian
sub-kelas dari publik tersebut. Kedua, suatu tipe analisis dimana proses
politik dianggap merupakan suatu penjelasan yang rasional. Pada posisi ini,
masalah peraturan ekonomi adalah bagian dari proses politik dan fenomena
ekonomi. Di dalam sistem politik, yang demokratis sistem politik bisa menjadi
medium yang tepat bagi penduduknya.
Saat
ini perkembangan mengenai pemanfaatan hukum bagi kepentingan kelompok tertentu
sudah sedemikian memuncak sehingga pembentukan organisasi untuk memperoleh
pendapatan dengan cuma-cuma yang dibagikan oleh negara atau disalurkan melalui
sistem hukum, atau setidak-tidaknya untuk melindungi diri sendiri dari proses
ini dengan membentuk apa yang dinamakan ‘redistributive
combines’ (kelompok redistribusi), yang tidak terbatas pada bidang-bidang yang
lazimnya erat berhubungan dengan kegiatan politik (partai politik, media massa,
atau organisasi informal) tetapi meluas sampai ke perusahaan-perusahaan dan
bahkan pada keluarga-keluarga.
Beberapa logika yang
menghubungkan diantara teori redistributive combines yang dikemukakan oleh de
Soto dengan teori keadilan oleh John Rawls :
1.
Teori redistribituve combines mengandaikan adanya otoritas penuh dari
negara/pemerintah untuk mengalokasikan kebijakan kepada kelompok-kelompok
(ekonomi) yang berkepentingan terhdap kebijakan tersebut. Akibatnya kebijakan
yang muncul sebagai hasil interaksi antara kelompok kepentingan (ekonomi) dan
pemerintah kerapkali cuma menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak
yang lain.
2.
Kelompok kepentingan (ekonomi) yang
eksis tidak selamanya mengandaikan tingkat kemerataan seperti yang diharapkan,
khususnya masalah kekuatan ekonomi.
Kemudian
Rawls juga mengonseptualisasikan teori keadilan yang bertolak dari dua prinsip,
yaitu pertama setiap orang harus mempunyai hak yang sama terhadap skema
kebebasan dasar yang sejajar yang sekaligus kompatibel dengan skema kebebasan
yang dimiliki oleh orang lain dan yang kedua
adalah ketimpangan sosial dan ekonomi harus ditangani sehingga keduanya
diekspektasikan secara logis menguntungkan bagi setiap orang serta dicantumkan
posisi dan jabatan yang terbuka bagi seluruh pihak (Rawls, 1999:53). Prinsip-prinsip
inilah yang kemudian membawa Rawls pada sikap untuk meyakini bahwa sebetulnya
keadilan itu tidak lain sebagai kepatutan/kepantasan.
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori, dan
Kebijakan. Jakarta : Erlangga.