Problem
serius dalam kegiatan ekonomi (transaksi) adalah ketiadaan kesetaraan
antarpelaku ekonomi. Ketidaksetaraan tersebut bisa berwujud dalam posisi tawar
menawar (bargaining position) maupun
informasi asimetris (information
asymmetric). Implikasinya, dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan akhirnya
ada salah satu/beberapa pihak yang memperoleh keuntungan diatas beban
(kerugian) pihak lain. Tentu saja kegiatan ekonomi semacam itu bukan merupakan
aktivitas yang ideal karena terdapat salah satu/beberapa pihak yang menjadi
korban. Oleh karena itu, harus dicari mekanisme dan desain aturan main
(kelembagaan) yang bertujuan membangun kesetaraan antar pelaku ekonomi, baik
dari sisi daya tawar maupun kelengkapan informasi. Pada titik inilah keberadaan
teori kontrak (termasuk information
asymmetric) dan tindakan kolektif (collective
action) sangat besar peranannya untuk membantu mendesain aturan main
tersebut. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas tentang teori kontrak
tersebut sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam sebagai dasar formulasi
regulasi/kebijakan.
a.
Teori Kontrak dan Informasi Asimetris
Dalam pendekatan
ekonomi biaya transaksi (transaction costs economics/TCE), basis dari
unit analisis ‘kontrak’ (contract) atau transaksi tunggal antara dua
pihak (parties) yang melakukan hubungan ekonomi. Kontrak secara umum
menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki
nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya dengan konsekuensi adanya tindakan
balasan (reciprocal action) atau pembayaran. Tindakan untuk membuat
kontrak tersebut secara umum dilakukan berdasarkan tingkat pengamatan yang
berbeda, pada titik waktu yang tidak sama, dan juga berdasarkan derajat timbal
balik yang berlainan. Bahkan hubungan kontrak itu sendiri mempunyai perbedaan
terhadap kesinambungannya. Untuk alasan ini, pelaku-pelaku dalam kontrak
tersebut memiliki derajat insentif kesukarelaan alami yang berbeda untuk
menyetujui isi atas kontrak yang dibikin. Dalam TCE, badan penegakan kontrak
dari luar (external contract-enforcement agency), yang biasa disebut
lembaga hukum (legal institution) yang mengatur kontrak, diasumsikan
eksis, meskipun kadangkala kinerjanya mengalami hambatan-hambatan akibat
kesulitan memverifikasi, baik yang buruk maupun yang bagus, pelaku-pelaku yang
terikat dalam sebuah kontrak. Dengan kata lain, TCE mengasumsikan bahwa kontrak
dapat ditegakkan (dipaksakan) dalam koridor lembaga hukum yang eksis dan
ketersediaan informasi yang cukup (Dixit, 1996:48).
Dalam kenyataannya, kontrak selaku tidak lengkap karena dua alasan (Klein,
1980:356-358). Pertama, adanya ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan
terbukanya peluang yang cukup besar bagi munculnya biaya untuk mengetahui dan
mengidentifikasi dalam rangka merespons seluruh kemungkinan ketidakpastian
tersebut. Kedua, kinerja kontrak khusus (particular contractual performance),
misalnya menentukan jumlah energi yang dibutuhkan pekerja untuk melakukan
pekerjaan yang rumit (complex task), mungkin membutuhkan biaya yang
banyak untuk melakukan pengukuran. Munculnya faktor ketidakpastian sebetulnya
dapat ditelusuri dari realitas adanya informasi asimetris (asymmetric
information) dalam kegiatan ekonomi. Secara teknis, informasi asimetris
tidak lain merupakan kondisi dimana ketidaksetaraan informasi atau pengetahuan
(unequal knowledge) yang dialami oleh pelaku-pelaku (parties)
untuk melakukan transaksi pasar. Sebagai contoh, pembeli dan penjual memiliki
informasi yang tidak sama tentang harga, kualitas, atau aspek lainnya tentang
barang dan jasa yang hendak diperjualbelikan (McConnel dan Brue, 2005:572).
Disinilah dibutuhkan suatu kontrak yang lengkap sehingga eksistensi informasi
asimetris tadi dapat dikurangi atau direduksi. Tentu saja, jenis informasi
asimetris untuk tiap-tiap kegiatan transaksi berbeda antara satu dengan yang
lain sehingga dibutuhkan jenis kontrak yang berlainan pula. Dengan begitu,
kontrak disini bisa pula dimaknai sebagai instrumen kompensasi yang didesain
untuk mengeliminasi dampak dari informasi asimetris. Semakin besar kemungkinan
terjadinya informasi asimetris, maka kian besar pula usaha yang mesti
dikerjakan untuk mendesain kontrak kerja secara lebih komplek.
Dalam
kegiatan ekonomi moderen tipe kontrak setidaknya bipilah dalam tiga jenis,
yakni teori kontrak agen, teori kesepakatan otomatis, dan teori kontrak
relasional. [Furubotn dan Richter, 2000:147]. Pertama, dalam teori agency
diandaikan setidaknya terdapat dua pelaku yang berhubungan, yakni prinsipal dan
agen. Prinsipal adalah pihak yang mempekerjakan agen untuk melaksanakan
pekerjaan atau layanan yang diinginkan oleh prinsipal. Kedua, jika dalam teori
kontrak agensi diasumsikakn kesepakatan bisa ditegakkan secara hukum, maka dalam
teori kesepakatan otomatis diandaikan tidak seluruh hubungan atau pertukaran
bisa ditegakkan secara hukum (Furubotn dan Ritcher, 2000:156-157). Disini
dinyatakan bahwa sistem hukum sangat mungkin tidak sempurna atau informasi yang
relevan tidak bisa diverifikasi oleh pengadilan. Ketiga, kontrak relasional
dapat dipahami sebagai kontrak yang tidak bisa menghitung seluruh
ketidakpastian di masa depan, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan dimasa
silam, saat ini, dan ekspektasi terhadap hubungan dimasa depan di antara
pelaku-pelaku yang telibat dalam kontrak (Macneil, 1974; dalam Furubotn dan Ritcher,
2000:158). Oleh karena itu, kontrak dalam pengertian ini mengacu pada derajat
yang bersifat implisit, informal dan tanpa ikatan.
b.
Mekanisme
Penegakan dan Instrumen Ekstralegal
Dari review terhadap
beragam studi tentang kontrak yang telah dilakukan, terdapat empat aspek yang
bisa disimpulkan menjadi faktor perbedaan jenis kontrak (Menard, 2000:236). Pertama, jangka waktu (duration) dari kontrak. Hampir semua
studi empiris yang dilakukan menunjukkan bahwa jangka waktu kontrak sangat
berhubungan dengan atribut dari transaksi. Oleh karena itu, jangka waktu
sekaligus juga menggambarkan komitmen (signal
commitment) dari para mitra. Kedua, derajat
kelengkapan (degree of completeness),
yang mencangkup variabel-variabel harga, kualitas, aturan keterlambatan (delay), dan penalty. Beberapa studi
menunjukkan bahwa derajat kelengkapan kontrak meningkat seiring dengan
spesifikasi asset dan menurun bersamaan dengan ketidakpastiaan. Ketiga,kontrak biasanya bersinggungan
dengan insentif. Di sini hanya terdapat sedikit jenis mekanisme insentif.
Mekanisme tersebut antara lain adalah sistem tingkat yang tetap (piece-rate systems), upah berdasarkan
jam kerja, distribusi bagian kepada pekerja, pengembalian aset yang dibayarkan
kepada pemilik, dan sewa yang dibagi antara mitra yang bergabung dalam proyek. Keempat, prosedur penegakan (enforcement procedures) yang berlaku.
Kontrak berhubungan dengan mitra untuk tujuan yang saling menguntungkan (mutual advantage), tetapi pada tempo
yang bersamaan kontrak juga menyimpan risiko kerugian (disadvantage) melalui sikap oportunis (opportunism); entah disebabkan oleh kontrak yang tidak lengkap
maupun kondisi pelaksanaan yang berbeda dengan situasi pada saat negosiasi,
atau bisa karena keduanya.
Dalam realitasnya, tentu mekanisme
penegakan tersebut tidak selalu mudah dilakukan, bahkan kerap kali sangat
rumit. Lebih-lebih, dalam kasus di mana rasionalitas terikat/terbatas (bounded rationality) eksis sehingga
ketidaklengkapan kelembagaan terjadi, maka problemnya bukan sekedar mendesain
sebuah aturan-aturan perilaku kelembagaan (institution’s
behavioral rules) tetapi juga bagaimana aturan-aturan itu ditegakkan.
Masalahnya, dalam kasus aturan main yang tidak komplet, suatu penegakan legal
sangat terbatas penggunaannya. Dalam kasus semacam ini dibutuhkan suatu
instrument tambahan semacam jaminan ekstralegal (extralegal guarantee), seperti penyanderaan (hostages), agunan (collateral),
strategi balas dendam (tit-for-tat-strategies),
reputasi (reputation), dan lain
sebagainya. Dengan kata lain, beberapa jaminan “privat” untuk menghadapi
perilaku penyimpangan diperlukan untuk membangun suatu hubungan yang taat asas.
Oleh karena itu, setiap desainer kelembagaan harus memperhatikan situasi aturan
main yang tidak lengkap tersebut agar perilaku-perilaku menyimpang bisa dicegah
(Furuboth dan Ricther, 2000:19).
c.
Teori Tindakan Kolektif dan Free-Riders
Teori tindakan kolektif
pertama kali diformulasikan oleh Mancur Olson (1971), khususnya saat mengupas
masalah kelompok-kelompok kepentingan. Teori ini sangat berguna untuk mengatasi
masalah penunggang bebas (free-rider)
dan mendesain jalan keluar bersama bagi pengelola sumber daya manusia atau
penyediaan barang-barang publik. Menurut Olson, determinan penting bagi keberhasilan
suatu tindakan bersama adalah ukuran , homogenitas, dan tujuan kelompok. Teori
ini sudah mapan dimanfaatkan untuk menyeleseikan persoalan yang bersinggungan
dengan manajemen sumber daya manusia, seperti air, perikanan, tanah, hutan, dan
lain-lain. Tiga mekanisme yang dapat dilakukan untuk mempercepat proses tindakan kolektif menurut Olson (1965) adalah sebagai berikut :
1.
Olson
beragumentasi bahwa produksi secara sukarela akan dapat dilaksanakan hanya
dalam kelompok-kelompok kecil atau kelompok uang didominasi oleh produsen besar.
Namun, Oliver et. al. (1985) menunjukkan bahwa dalam suatu lingkaran tertentu
peningkatan ukuran suatu kelompok dapat memfasilitasi tindakan kolektif lewat
peningkatan kemungkinan masa kritis dari para pelaku yang bergabung untuk
menanggung beban ongkos produksi dari barang-barang publik.
2.
Olson
berpendapat bahwa interaksi strategis (misalnya kerja sama kondisional yang
menyatakan “jika kamu bergabung, maka
saya juga akan masuk”) mungkin akan menelurkan kerja sama cuma dalam kelompok
sedang. Tetapi Axelrod (1984) menunjukkan bahwa interaksi strategis dapat
memfasilitasi kerja sama dalam kelompok manapun karena efek dari reputasi dan
mekanisme pergaulan.
3.
Olson berasumsi
bahwa insentif selektif (seperti hukuman bagi free-riders atau penghargaan
terhadap pihak yang mau bekerja sama) mempersyaratkan adanya otoritas sentral.
Intinya Olson mengantisipasi muncuknya masalah penanggung bebas pada level
lebih lanjut yang muncul karena insentif selektif juga merupakan barang publik,
di mana pelaku yang gaga dibebani biaya dari insentif yang diterima mungkin
juga tidak mendapatkan benefit dari pemanfaatan insentif tersebut.
d.
Pilihan Rasional dan Tindakan Komunikatif
Setidaknya terdapat dua pendekatan dalam teori
pilihan rasional, yakni pendekatan kuat (strong
approach) dan pendekatan lemah (weak
approach) [Miller, 1992:24; dalam Yustika, 2013:90]. Pendekatan kuat
melihat rintangan sosial dan kelembagaan sebagai produk dari tindakan rasional
dan tindakan rasional itu sendiri menjadi sebab munculnya analisis pilihan
rasional. Sedangkan pendekatan lemah menempatkan halangan sosial dan
kelembagaan sebagai suatu kerangka yang pasti ada (given framework) karena aktor-aktor rasional berupaya
memaksimalisasikan keuntungan atau meminimalisasikan biaya. Dengan mencermati
deskripsi tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan bahwa rintangan sosial,
dan kelembagaan sama-sama eksis dalam pendekatan kuat maupun lemah. Namun,
dalam pendekatan kuat diandaikan hambatan sosial dan kelembagaan sebagai pemicu
munculnya tindakan rasional. Sebaliknya, dalam pendekatan lemah hambatan sosial
dan kelembagaan lahir akibat pertarungan rasional antara individu yang berupaya
memaksimalisasikan laba dan meminimalisasikan ongkos. Tentunya, jalan keluar
untuk menyelesaikan persoalan tindakan kolektif dari dua versi teori pilihan
rasional tersebut berbeda, tergantung pendekatan mana yang eksis.
Enam Strategi Fungsi Pilihan Kontribusi dan Pilihan
Pengawasan
Pilihan
Kontribusi Terhadap Barang Publik (Level Pertama)
|
Pilihan Pengawasan
Interpersonal (Level Kedua)
|
||
Pengawasan
Lunak (Kerjasama)
|
Tanpa
Pengawasan (Kegagalan)
|
Pengawasan
Oposisional
|
|
Kontribusi (kerjasama)
|
Kerjasama penuh
|
Kerjasama privat
|
Oposisi lunak
|
Tidak
kontribusi (kegagalan)
|
Kerjasama hipokritikal
|
Kegagalan penuh
|
Oposisi penuh
|
Sumber : Heckathorn, 1993:332 dalam Yustika, 2013:91
Apabila pendekatan kuat yang disepakati
sebagai sebab munculnya tindakan rasional, maka sekurangnya terdapat tiga
solusi internal yang bisa direkomendasikan (Miller, 1992:25). Pertama, perlunya
solusi internal yang kuat (dengan asumsi tidak ada perubahan dalam keyakinan
dan preferensi) terhadap problem penunggang bebas. DeNardo (1985 dalam Yustika,
2008:120) mengidentifikasi dua kemungkinan: (i) individu terlalu percaya (overestimate) terhadap pentingnya
partisipasi mereka dalam tindakan kolektif, seperti ekspektasi bahwa tindakan
mereka pasti akan berdampak positif (keuntungan); dan (ii) sensitivitas
kepuasan dan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang membuat kegunaan
partisipasi berdampak positif terhadap pencapaian tindakan (outcome of the action).
Daftar Referansi
Daftar Referansi
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta :
Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar