Sabtu, 29 Oktober 2016

Tugas 7 Teori Ekonomi Politik


Sebelum berkembang seperti saat ini, sesungguhnya ilmu ekonomi dulunya berinduk kepada ilmu ekonomi politik. Sedangkan ekonomi politik sendiri merupakan bagian dari ilmu filsafat. Ekonomi politik percaya bahwa struktur kekuasaan akan mempengaruhi pencapaian ekonomi, sebaliknya pendekatan ekonomi murni menganggap struktur kekuasaan di masyarakat adalah given. Bab ini akan menjelaskan tentang makna ekonomi politik itu sendiri, ditambah dengan beberapa teori ekonomi politik yang populer digunakan akhir-akhir ini.

Sejarah dan Pemaknaan Ekonomi Politik
Menurut Clark (1998:21-23), munculnya teori ekonomi dapat dilacak dari periode antara abad ke-14 dan ke-16, yang bisa disebut masa ‘transformasi besar’ di Eropa Barat sebagai implikasi dari sistem perdagangan yang secara perlahan menyisihkan sistem ekonomi feodal di abad pertengahan. Tumbuhnya pasar ekonomi baru yang besar tersebut telah memumculkan peluang ekspresi bagi aspirasi-aspirasi individu dan memperkuat jiwa kewirausahaan yang sebelumnya ditekan oleh lembaga gereja, negara, dan komunitas. Dalam Bahasa Inggris, penggunaan istilah ekonomi politik terjadi pada 1767 lewat publikasi Sir James Steuart (1712-1789) berjudul Inequery into the Principles of Political Economy



Terlepas dari sejarah teori ekonomi politik yang rumit, pendekatan ekonomi politik sendiri secara definitif dimaknai sebagai interrelasi di antara aspek, proses, dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi(produksi, investasi, penciptaan harga, konsumsi, dan lain sebagainya) [Caporaso dan Levine, 1992:31]. Mengacu pada definisi tersebut, pendekatan ekonomi politik mengaitkan seluruh penyelenggaraan politik, baik yang menyangkut aspek, proses, maupun kelembagaan dengan kegitan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang diintrodusir oleh pemerintah. Harus juga dipahami bahwa pendekatan ini meletakkan bidang politik subordinat terhadap ekonomi. Artinya instrumen-instrumen ekonomi seperti mekanisme pasar, harga, dan investasi dianalisis dengan mempergunakan pengaturan sistem politik dimana kebijakan atau peristiwa ekonomi tersebut terjadi. Dengan kata lain pendekatan ini melihat bahwa ekonomi sebagai cara untuk melakukan tindakan, sedangkan politik menyediakan ruang bagi tindakan tersebut

Teori Pilihan Publik
Teori pilihan publik melihat aktor-aktor individu sebagai pusat kajian, entah mereka itu sebagai anggota partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, atau birokrasi; baik yang berkuasa karena dipilih maupun ditunjuk (Caporaso dan Levine, 1992:134). Teori pilihan publik ini mendeskripsikan bahwa “secara tipikal ahli ekonomi politik melihat politik dalam wujud demokrasi, yang memberikan ruang untuk saling melakukan pertukaran di antara masyarakat, partai politik, pemerintah, dan birokrat. Dalam konteks itu, masyarakat pemilih diposisikan sebagai pembeli barang-barang kolektif (publik), sementara pemerintah dan partai politik dipertimbangkan sebagai alternatif penyedia kebijakan publik (barang dan jasa) sehingga dalam jangka panjang mereka bisa memungut dukungan dari pemilihan umum (Mitchell, seperti dikutip Rachbini, 2002:86). Singkatan, dalam proses semacaam itu, setiap formulasi kebijakan dan dukungan dianggap sebagai proses distribusi nisbah ekonomi melalui pasar politik.
Asumsi-asumsi yang dipakai dalam teori publik setidaknya bisa dijelaskan dalam 4 poin, yaitu pertama kecukupan kepentingan material individu memotivasi adanya perilaku ekonomi, kedua motif kecukupan tersebut lebih mudah dipahami dengan menggunakan teori ekonomi neoklasik , ketiga kecukupan kepentingan material individu yang sama memotivasi adanya perilaku politik, dan yang keempat dimana asumsi kecukupan (kepentingan yang sama) tersebut lebih mudah dipahami dengan menggunakan teori ekonomi neoklasik (Streeton dan Orchard, 1994:123). Sedangkan dalam operasionalisasinya, pendekatan pilihan publik bisa dibedakan dalam dua bagian, yaitu penawaran dan permintaan. Pada sisi penawaran, terdapat dua subyek yang berperan dalam formulasi kebijakan, yakni pusat kekuasaan yang dipilih dan pusat kekuasaan yang tidak dipilih. Termasuk dalam yang dipilih adalah badan legislatif dan eksekutif. Sedangkan yang tidak dipilih adalah cabang-cabang eksekutif, lembaga independen, dan organisasi internasional yang keberadaannya tidak dipilih. Sementara di sisi permintaan, aktornya juga bisa dipilih dalam dua kategori, yaitu pemilih dan kelompok-kelompok penekan. Pemilih akan mengontrol suara untuk mendapatkan kebijakan yang diinginkan, sedangkan kelompok-kelompok penekan akan mengelola sumber daya yang dipunyai untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan, baik dari pusat kekuasaan yang dipilih maupun pusat kekuasaan yang tidak dipilih.

 

Teori Rent-seeking
Teori pilihan publik juga dapat mentransformasikan lebih jauh konsep dasar ilmu ekonomi klasik ke dalam politik. Dalam kasus ini konsep pendapatan ditransformasikan menjadi konsep perburuan rente. Konsep ini sangat penting bagi ilmu ekonomi untuk menjelaskan perilaku pengusaha, politisi, dan kelompok kepentingan (Rachbini, 2002:118). Teori rent-seeking sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Krueger (1974), yang kemudian dikembangkan oleh Bhagwati (1982) dan Srinivasan  (1991). Pada saat itu Krueger membahas tentang praktik untuk memperoleh kuota impor, di mana kuota sendiri bisa dimaknai sebagai perbedaan antara harga batas dan harga domestik. Dalam pengertian ini, perilaku mencari rente dianggap sebagai pengeluaran sumber daya untuk mengubah kebijkan ekonomi, atau menelikung kebijakan tersebut agar dapat menguntungkan bagi para pencari rente (Little, 2002:126). Secara teoritis, kegiatan mencari rente harus dimaknai secara netral, karena individu (kelompok) bisa memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang legal (sah), seperti menyewakan tanah, modal (mesin), dan lain-lain.
Dapat dijelaskan mengenai perilaku pencari rente (Krueger, 2000:15-16) yaitu sebagai berikut :
1.      Masyarakat akan mengalokasikan sumber daya untuk menangkap peluang hak milik yang ditawarkan oleh pemerintah. Pada titik ini, kemungkinan munculnya perilaku mencari rente sangat besar. Tentu saja dalam analisis ekonomi tidaklah relevan membicarakan apakah kegiatan mencari rente tersebut mengambil bentuk secara illegal maupun legal, meskipun kegiatan korupsi ataupun kegiatan illegal lainnya bisa mengurangi legitimasi pemerintah.
2.      Setiap kelompok atau individu pasti akan berupaya mempertahankan posisi mereka yang menguntungkan. Implikasinya, keseimbangan politik mungkin tidak dapat bertahan dalam jangka panjang karena akan selalu muncul kelompok penekan baru yang mencoba mendaptkan fasilitas istimewa pula.
3.      Didalam pemerintah sendiri terdapat kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dengan kata lain, kepentingan pemerintah tidaklah tunggal. Misalnya, setiap pemerintah cenderung akan memperbesar pengeluaran untuk melayani kelompok-kelompok kepentingan sementara kemeterian keuangan sebaliknya justru berkonsentrasi meningkatkan pendapatan. Dalam konteks ini, ideologi menjadi determinan penting yang akan menuntun bentuk kepentingan pemerintah.

Teori Redistributive Combines dan Keadilan
Di kalangan perumus kebijakan, ada tradisi untuk menggunakan hukum sebagai alat membagi-bagikan kekayaan yang ada dan bukan mendorong terciptanya kekayaan baru. Bagi suatu negara yang tidak menyadari bahwa kekayaan dan sumber daya dapat bertambah besar bila ada dorongan untuk menciptakannya dari suatu sistem kelembagaan yang tepat dan bahwa anggota masyarakat yang paling papa sekalipun dapat menghasilkan kekayaan, maka redistribusi langsung merupakan cara satu-satunya yang terbayangkan oleh pengambil kebijakan. Cara pandang seperti ini sama sekali tidak mempertimbangkan realitas bahwa suatu peraturan dapat mengubah keputusan yang diambil oleh orang di bidang ekonomi dan mengubah peluang ekonomi yang terbuka baginya (de Soto, 1992:249-250). Menurut Stigler (Rachbini, 1996:131-132), ada dua alternatif pandangan tentang bagaimana sebuah peraturan diberlakukan. Pertama, peraturan dilembagakan terutama untuk memberlakukan proteksi dan kemanfaatan tertentu untuk publik atau sebagian sub-kelas dari publik tersebut. Kedua, suatu tipe analisis dimana proses politik dianggap merupakan suatu penjelasan yang rasional. Pada posisi ini, masalah peraturan ekonomi adalah bagian dari proses politik dan fenomena ekonomi. Di dalam sistem politik, yang demokratis sistem politik bisa menjadi medium yang tepat bagi penduduknya.
Saat ini perkembangan mengenai pemanfaatan hukum bagi kepentingan kelompok tertentu sudah sedemikian memuncak sehingga pembentukan organisasi untuk memperoleh pendapatan dengan cuma-cuma yang dibagikan oleh negara atau disalurkan melalui sistem hukum, atau setidak-tidaknya untuk melindungi diri sendiri dari proses ini dengan membentuk apa yang dinamakan ‘redistributive combines’ (kelompok redistribusi), yang tidak terbatas pada bidang-bidang yang lazimnya erat berhubungan dengan kegiatan politik (partai politik, media massa, atau organisasi informal) tetapi meluas sampai ke perusahaan-perusahaan dan bahkan pada keluarga-keluarga.
Beberapa logika yang menghubungkan diantara teori redistributive combines yang dikemukakan oleh de Soto dengan teori keadilan oleh John Rawls :
1.      Teori redistribituve combines mengandaikan adanya otoritas penuh dari negara/pemerintah untuk mengalokasikan kebijakan kepada kelompok-kelompok (ekonomi) yang berkepentingan terhdap kebijakan tersebut. Akibatnya kebijakan yang muncul sebagai hasil interaksi antara kelompok kepentingan (ekonomi) dan pemerintah kerapkali cuma menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain.
2.      Kelompok kepentingan (ekonomi) yang eksis tidak selamanya mengandaikan tingkat kemerataan seperti yang diharapkan, khususnya masalah kekuatan ekonomi.
Kemudian Rawls juga mengonseptualisasikan teori keadilan yang bertolak dari dua prinsip, yaitu pertama setiap orang harus mempunyai hak yang sama terhadap skema kebebasan dasar yang sejajar yang sekaligus kompatibel dengan skema kebebasan yang dimiliki oleh orang lain dan yang  kedua adalah ketimpangan sosial dan ekonomi harus ditangani sehingga keduanya diekspektasikan secara logis menguntungkan bagi setiap orang serta dicantumkan posisi dan jabatan yang terbuka bagi seluruh pihak (Rawls, 1999:53). Prinsip-prinsip inilah yang kemudian membawa Rawls pada sikap untuk meyakini bahwa sebetulnya keadilan itu tidak lain sebagai kepatutan/kepantasan.

Daftar Referansi
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta : Erlangga.

1 komentar: